Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena
melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama
SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya,
singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, timbullah sejumlah
efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang
terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik
dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata,
memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung,
vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah, memperlambat pernafasan, antara lain
dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot
mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan
intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan
ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan
kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya, dan
lain-lain. (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).
Reseptor
kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner
dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang
disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan,
reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni: (Tan Hoan Tjay &
Rahardja, 2002).
A. Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin,
yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya,
reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan
menggunakan study ikatan dan panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa
subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3,
M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem
saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan
kelenjar eksokrin. (Mary J. Mycek, dkk, 2001).
Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam
neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung,
dan reseptor M2 terdapat dalam otot polos dan jantung, dan reseptor
M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja
muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi,
tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula (Mary J.
Mycek, dkk, 2001).
Sejumlah mekanisme molekular yang berbeda terjadi dengan menimbulkan sinyal
yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat reseptor muskarinik. Sebagai
contoh, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan, maka
reseptor ini akan mengalami perubahan konformasi dan berinteraksi dengan protein
G, yang selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C. Akibatnya akan terjadi
hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)-bifosfat (PIP2) menjadi
diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat (IP3) yang akan
meningkatkan kadar Ca++ intrasel. Kation ini selanjutnya akan
berinteraksi untuk memacu atau menghambat enzim-enzim atau menyebabkan
hiperpolarisasi, sekresi atau kontraksi.
Sebaliknya,
aktivasi subtipe M2 pada otot jantung memacu protein G yang
menghambat adenililsiklase dan mempertinggi konduktan K+, sehingga
denyut dan kontraksi otot jantung akan menurun (Mary J. Mycek, dkk, 2001).
B. Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin,
tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor
nikotinik, namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik
ini terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan
sambungan neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor
nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia
otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskulular.
Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh
heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik
dihambat oleh turbokurarin (Mary J. Mycek, dkk, 2001).
Stimulasi reseptor ini oleh kolenergika menimbulkan efek yang menyerupai
efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama sekali. Misalnya vasokonstriksi
dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan jantung, juga stimulasi SSP
ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi otot lurik, sedangkan pada dosis
tinggi terjadi depolarisasi dan blokade neuromuskuler (Tan Hoan Tjay &
Rahardja, 2002).
Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja
langsung dan zat-zat dengan kerja tak langsung. Kolinergika yang bekerja secara
langsung meliputi karbachol, pilokarpin, muskarin, dan arekolin (alkaloid dari
pinang, Areca catechu). Zat-zat ini bekerja secara langsung terhadap
organ-organ ujung dengan kerja utama yang mirip efek muskarin dari ACh.
Semuanya adalah zat-zat amonium kwaterner yang bersifat hidrofil dan sukar
larut memasuki SSP, kecuali arekolin (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).
Sedangkan kolinergika yang bekerja secara tak langsung meliputi zat-zat
antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, dan piridogstimin. Obat-obat
ini merintangi penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara.
Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh segera akan
dirombak lagi (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).
Disamping itu, ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara irreversibel,
misalnya parathion dan organofosfat lainnya. Kerjanya panjang, karena bertahan
sampai enzim baru terbentuk lagi. Zat ini banyak digunakan sebagai insektisid
beracun kuat di bidang pertanian (parathion) dan sebagai obat kutu rambut
(malathion). Gas saraf yang digunakan sebagai senjata perang termasuk pula
kelompok organofosfat ini, misalnya Sarin, Soman, dan sebagainya (Tan Hoan Tjay
& Rahardja, 2002).
Salah satu kolinergika yang sering
digunakan dalam pengobatan glaukoma adalah pilokarpin. Alkaloid pilokarpin
adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase.
Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat
lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk
oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan
cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme
akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit
untuk memfokus suatu objek.
Antikolinergik
Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik
dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan ester adalah esensial dalam ikatan
yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor asetilkolin. Obat ini
berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah aktivasi
reseptor. Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second
messenger seperti cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dicegah.Reseptor
jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade. Faktanya : reseptor
muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat diidentifikasikan :
reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3) (Askep, 2009).
Dalam dosis
klinis, hanya reseptor muskarinik yang dihambat oleh obat antikolinergik yang akan
dibahas pada bab ini. Kelebihan efek antikolinergik tergantung dari derajat
dasar tonus vagal. Beberapa sistem organ dipengaruhi :
A.
Kardiovaskular
Blokade
reseptor muskarinik pada SA node berakibat takikardi. Efek ini secara khusus
mengatasi bradikardi karena reflek vagal (reflek baroreseptor,stimulasi
peritoneal atau reflek okulokardia). Perlambatan transien denyut jantung karena
antikolinergk dosis rendah telah dilaporkan. Mekanisme ini merupakan respon
paradoks karena efek agonis perifer yang lemah, diduga obat ini tidak murni
antagonis. Konduksi melalui AV node akan memendekkan interval P-R pada EKG dan
sering menurunkan blokade jantung disebabkan aktivitas vagal. Atrial disritmia
dan ritme nodal jarang terjadi. Antikolinergik berefek kecil pada fungsi
ventrikel atau vaskuler perifer karena kurangnya persarafan kolinergik pada
area ini dibanding reseptor kolinergik. Dosis besar antikolinergik dapat
menghasilkan dilatasi pembuluh darah kutaneus (atropin flush).
B. Respirasi
Antikolinergik
menghambat sekresi mukosa saluran pernafasan,dari hidung sampai bronkus. Efek
kering ini penting sebelum pemberian agen inhalasi yang kurang iritasi.
Relaksasi dari otot polos bronkus akan mengurangi resistensi jalan nafas dan
meningkatkan ruang rugi anatomi. Efek ini penting pada pasien dengan penyakit
paru obstruksi kronis atau asma (Askep, 2009).
C. Cerebral
Antikolinergik
dapat mempengaruhi sistem saraf pusat mulai dari stimulasi sampai
depresi,tergantung pemilihan obat dan dosis. Stimulasi seperti eksitasi,lemah
atau halusinasi. Depresi dapat menyebabkan sedasi dan amnesia. Physostigmin,
penghambat kolinesterase dapat menembus sawar darah otak,dapat mengatasi efek
ini (Askep, 2009).
D.
Gastrointestinal
Sekresi air
liur berkurang oleh obat antikolinergik. Sekresi gastrik juga berkurang,tapi
dosis besar diperlukan.Motilitas dan peristaltik intestinal berkurang dan
waktu pengosongan lambung memanjang. Tekanan spingter esofagus bagian bawah
berkurang. Obat antikolnergik tidak bermanfaat dalam hal mencegah aspirasi pneumonia
(Askep, 2009).
E. Mata
Antikolinergik
menyebabkan midriasi (dilatasi pupil) dan siklopegi ( tidak dapat akomodasi
penglihatan dekat); glaukoma akut sudut tertutup diikuti pemberian secara
sistemik dari obat antikolinergik (Askep, 2009).
F.
Genitourinary
Antikolinergik dapat
menurunkan tonus ureter dan blader sebagai hasil dari relaksasi otot polos dan
retensi urin, khususnya pada pasien usia klanjut dengan pembesaran prostat.
G.
Termoregulasi
Penghambatan
kelenjar liur dapat meningkatkan temperatur suhu tubuh ( demam atropin)
H.
Immune-mediated hypersensitivity
Berkurangnya
cGMP inraselular secara teori berguna dalam pengobatan reaksi
hipersensitivitas. Secara klinis,antikolinergik mempunyai efek kecil pada kasus
ini
Contoh obat-obat
antikolinergik adalah atropin, skopolamin, ekstrak beladona, oksifenonium
bromida dan sebagainya. Indikasi penggunaan obat ini untuk merangsang susunan
saraf pusat (merangsang nafas, pusat vasomotor dan sebagainya, antiparkinson),
mata (midriasis dan sikloplegia), saluran nafas (mengurangi sekret hidung,
mulut, faring dan bronkus, sistem kardiovaskular (meningkatkan frekuensi detak
jantung, tak berpengaruh terhadap tekanan darah), saluran cerna (menghambat
peristaltik usus/antispasmodik, menghambat sekresi liur dan menghambat sekresi
asam lambung)
Obat
antikolinergik sintetik dibuat dengan tujuan agar bekerja lebih selektif dan
mengurangi efek sistemik yang tidak menyenangkan. Beberapa jenis obat
antikolinergik misalnya homatropin metilbromida dipakai sebagai antispasmodik,
propantelin bromida dipakai untuk menghambat ulkus peptikum, karamifen digunakan
untuk penyakit parkinson.